Posted by : Unknown
Senin, 05 Desember 2016
IBNU MASKAWAIH DAN
PEMIKIRANNYA
A. Biografi Ibnu Maskawaih
Nama lengkap Ibn Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Maskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/932 M dan wafat pada usia
lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Pebruari1030 M. Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti
Buwaihi di Baghdad(320-450 H/ 932-1062 M) yang sebagian besar
pemukanya bermazhab Syi’ah.[1]
Puncak prestasi
kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ‘Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun
367-372 H, perhatiannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan
amat besar, sehingga pada masa ini Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk
menjadi bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah dan pada masa ini jugalah Maskawaih
muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga. Tetapi
keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak
dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara
umum, baik dikalangan elite, menengah, dan bawah. Tampaknya hal inilah yang
memotivasi Maskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada
zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Maskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari
raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar,
disamping sebagai penyimpan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang
diperlukan.[2]
B. Riwayat Pendidikan Maskawaih
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang
rinci. Namun dijumpai keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar
Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filasafat dari Ibn al-Akhmar, dan
mempelajari kimia dari Abu Tayyib.[3] Karena leahliannya daam berbagai ilmu, Iqbal mengelompokkannya sebagai
seorang pemikir, moralis, dan sejarawan Parsi paling terkenal.[4]
Ibnu Maskawaih lebih terkenal dalam bidang filsafat dibandingkan dengan ilmu
yang lain, apalagi karya beliau yang sangat terkenal adalah tentang pendidikan
dan akhlak. Sehingga beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memikir
dan belajar secara otodidak tanpa harus berguru kepada yang ahlinya.
Dalam bidang pekerjaan Ibn Miskawaih adalah bendaharawan,
sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti
Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan
ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina.
Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar
yang kemasyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310
H./ 923 M.) selanjutnya juga ia dikenal sebagai dokter,
penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibn Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu
tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.[5]
Ibnu Maskawaih seorang
yang tekun dalam melakukan percobaan-percoabaan unuk mendapatkan ilmu-ilmu
baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik
anak-anak penjebat pemerintah, hal ini tentu menunjukkan bahwa ibnu maskawaih
dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu Miskawaih juga digelari Guru
ketiga ( al-Mualimin
al-Tsalits ) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru
pertama (al-Mualimin al-Awwal
) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan
dasar-dasar etika dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa
Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak).
Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat
Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.[6] Ibnu Maskawaih adalah seoarang teoritis dalam hal-hal akhlaq artinya ia
telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah
berarti bahwa Ibnu Maskawaih tidak berakhlaq, hanya saja persoalannya ditinjau
dari segi pengetahuan semata-mata.
C. Hasil karya Ibnu Maskawaih
Ibn
Miskawaiah selain dikenal sebagai pemikir (filosuf), ia juga sebagai penulis
produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy seperti yang
dikutip oleh Sirajuddin Zar disebutkan beberapa tulisannya sebagai berikut:
a. Al Fauz al Akbar
b. Al Fauz al Asghar
c. Tajarib al Umam (sebuah
sejarah tentang banjir besar yang ia tulis pada tahun 369 H/979 M)
d. Uns al Farid (Koleksi anekdot,
syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
e.
Tartib al Sa`adat (tentang akhlak dan politik)
f. Al Mustaufa (tentang
syair-syair pilihan)
g.
Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h. Al Jami`
i. Al Siyab
j. Kitab al Ashribah
k. Tahzib al Aklaq
l.
Risalat fi al Lazzat wa al Alam fi Jauhar al Nafs
m. Ajwibat wa As`ilat fi al Nafs wa al `Alaq
n.
Thaharat al Nafs dan lain-lain.[7]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana
dikutip oleh Abuddin Nata, bahwa semua karya Ibn Miskawaih tidak luput
dari kepentingan filsafat dan akhlak. Sehubungan dengan itu Ibnu Miskawaih
dikenal sebagai moralis.[8]
D. Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
Sama dengan para tokoh
islam yang lain, pemikiran ibnu maskawaih juga sangat bermanfaat untuk manusia
pada umunya dan umat Islam pada khususnya. Namun pemikiran beliau adalah:
1. Metafisika
a. Ketuhanan
Tuhan menurut Ibnu
Maskawaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam
segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak
satu pun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung
kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya.[9]
Kalau dilihat sekilas pemikiran Ibnu maskawaih ini sama dengan pemikiran
Al-kindi.
Menurut De Boer dalam
bukunya Tarikh al-Falsafat fi Islam disana ibnu maskawaih menyatakan,
Tuhan adalah zat yang jelas dan zat yang tidak jelas. Dikatakan zat yang jelas
bahwa ia adalah yang hak (Benar). Yang benar adalah terang. Dikatakan tidak
jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkapnya, disebabkan banyak
dinding-dinding atau kendala keberadaan yang menutupi-Nya.[10]
Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
b. Emanasi
Sebagaimana Al-farabi,
Ibnu Maskawaih juga menganut faham Emanasi yakni Allah menciptakan alam secara
pancaran, namun Emanasi nya ini berbeda dengan Emanasi Al Farabi. Menurut nya
entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘aql Fa’al’ (
akal aktif ). Akal aktif ini timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula
timbullah planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Allah
dapat memelihara tatanan alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka
akan terhenti kemajuan dalam alam ini.
Dari Akal Aktif ini
timbullah jiwa dan dengan perantaraan jiwa pula timbullah planet. Pelimpahan
atau pemancaran yang terus menerus dari Allah dapat memelihara tatanan didalam
alam ini. Andaikan Allah menahan pancaran-Nya, maka akan berhenti kemaujudan
dalam alam ini. Berikut perbedaan emanasi antara Al-Farabi dan Ibnu Maskawaih,
yaitu:
1. Bagi Ibnu
Maskawaih, Allah menjadikan alam ini secara pancaran ( emanasi ) dari
tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut Al-farabi alam dijadiakan Tuhan
secara pancaran (emanasi) dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
2. Bagi
Ibnu maskawaih ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara bagi
Al-farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal pertama dan Akal Aktif adalah
akal kesepuluh.[11]
c. Tentang
Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi,Ibnu Miskawaih juga Menginterpretasikan kenabian secara
Ilmiah.Usahanya ini dapat memperkecil perbedaan antara nabi dan pilosof dan
memperkuat hubungan dan keharmonisan antara akal dan wahyu.Menurut Ibnu
Miskawaih,nabi adalah seorang muslim yang memperoleh hakikat hakikat
kebenaran seperti ini juga diperoleh oleh para pilosof.
Perbedaannya hanya terletak pada tehnik memperolehnya.[12]
d. Tentang Jiwa
Kata jiwa berasal dari bahasa arab (النفس) atau nafs’ yang
secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai diri atau secara lebih sederhana bisa
diterjemahkan dengan jiwa.[13] Para filsuf Islam memandang jiwa merupakan sesuatu
yang mengandung daya yang terdapat dalam diri manusia.[14].Pada manusia itu terdapat materi tubuh dan
jiwanya. Tubuh dan jiwa itu mempunyai perbedaan.
Jiwa,
menurut Ibnu Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan
sebab kematian jasad. Ia adalah satu kesatuan yang tidak dapat terbagi
bagi.ia akan hidup selalu ia tidak dapat diraba dengan panca Indra karena ia
bukan jism dan bagian dari jisim.jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan
mengetahui keaktivitasnya.[15] Ibnu Maskawaih untuk memahami tentang jiwa beliau
membedakan antara jiwa dan materi, jiwa sebagaimana dapat dipahami lebih
condrong kepada yang tidak dapat ditangkap dan diraba sedangkan materi adalah
yang berbentuk dan memiliki berbagai unsur yang dapat diraba, selanjutnya
materi dapat dilihat dengan panca indra sebaliknya jiwa manusia itu sendiri
artinya jiwa tidak dapat
bermateri, sekalipun ia bertempat pada materi, karena materi hanya
menerima satu bentuk dalam waktu tertentu.
Ibn Miskawaih dalam
kitab Tahzib al-Akhlaq, menggambarkan bagaimana bahwa jika daya-daya jiwa
manusia bekerja secara harmonis dan senantiasa merujuk pada akal dapat
melahirkan perbuatan-perbuatan moral yang akan menguntungkan bagi manusia dalam
kehidupannya di dunia. Stabilitas fungsi daya-daya jiwa ini pun sangat
tergantung pada factor pendidikan yang sedemikian rupa akan membentuk tata
hubungan fungsional daya-daya jiwa dalam membuat keputusan-keputusan yang
memang diperlukan manusia dalam merealisasikan
nilai-nilai moral dalam kehidupan. Dan oleh karena penjagaan kerja akal agar
selalu berjalan sesuai dengan naturalnya merupakan prasyarat bagi perwujudan
nilai-nilai moral, maka pembinaannya merupakan suatu kemestian dalam dunia
pendidikan. [16]
Sehubungan dengan
kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Ibn Miskawaih
mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk (al-Nafs al-Bahimiyyah, nafsu kebinatangan)
mempunyai sifat-sifat: ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan takabur.
Sedangkan jiwa yang cerdas (an-Nafs an-Nathiqah) mempunyai sifat adil,
harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.[17]
2. Dasar-dasar
Etika
Ibnu Maskawaih juga
digelari sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan
Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika
salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan
Budi) yang sudah dipakai oleh para pakar pendidikan agama islam untuk dijadikan
teori terutama tentang adab manusia.
Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawaih berasal dari filsafat
Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Dalam
menjelaskan Etika Islam Menurut Ibn Miskawaiah, akan dijelaskan poin-poin
penting yang relevan dengan pembahasan ini.
a. Pengertian
Akhlak
Akhlak menurutnya
adalah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat
tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi
dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur kebiasaan dan latihan.[18]
Ibnu Maskawaih adalah seorang moralis terkenal. Hampir setiap pembahasan
akhlak dalam Islam, filsafatnya selalu mendapat perhatian utama. Akhlak
adalah jamak dari khuluq yang artinya sikap, tindakan, tindak-tanduk dan sikap,
inilah yang akan membentuk sikap kita dan inilah yang bisa dikomentar oleh
orang lain berbeda dengan khalq atau ciptaan karena tidak bisa dikomentar dalam
artian langsung ciptaan Allah swt semata seperti fisik manusia itu sendiri.
Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak
merupakan bentuk jamak dari khuluq,
الخلق حال للنفس
داعية لها إلى أفعالها من غير فكر ولا روية
yang berarti
keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.[19]
Dengan
kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini
terbagi menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak
kecil dan ada pula yang berasal dari kebiasaan latihan.[20] Dengan demikian,
manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak
baik menjadi baik.
Ibn Miskawaih
memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam
kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk yang
memiliki macam-macam daya. Ibn Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia
atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber tingkah
laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Dari defenisi di atas
jelaslah bahwa Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan
bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin dapat
berubah. Ia menegaskannya bahwa
kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu selalu terbuka lebar terutama
bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah). Mengawali pembahasan tentang
akhlak ini, Ibn Maskawaih membahas atau memberi beberapa prinsip
dasar tentang akhlak, yakni:[21]
Ø Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan
manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan. Yaitu kesempurnaan ilmu dan
kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja,
yakni meluruskan akhlak dan mewujudkan kesempurnaan moral seseorang, sehingga
tidak ada pertentangan antar berbagai daya dan semua perbuatannya lahir sesuai
dengan daya berpikir.
Ø Kelezatan
indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan
akali adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Ø Anak-anak
harus di didik sesuai dengan akhlak yang mulia, disesuaikan
dengan rencananya dengan urutan daya-daya yang mula-mula lahir padanya. Jadi,
dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir.
Rencana pendidikan juga dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa
keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan (jiwa marah) dan akhirnya
sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa
pikir).
b. Kebahagiaan (Sa’adah)
Maskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-sa’adah
(kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi
seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah
kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada
orang per orang.[22]
Ada
dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili
oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan
badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh
Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia
walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda
menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada
kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu
Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang
berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa
dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih
rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan
jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan,
serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah swt.
Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia
menuju derajat malaikat.
c. Pendidikan Akhlak
Dalam karangan-karangan
beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material dalam kontek moral
seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat persoalan-persoalan yang
wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan
perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama manusia.[23]
Dari beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi
pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan
moral/akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral
tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih
bermamfaat ketika hal-hal yang bersifat subtansial/esensial dipenerapannya
dalam hubungan sosial.
Dapat
disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul
darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh,
rakus, penakut, dan zalim.
Tujuan pendidikan akhlak yang
dirumuskan Ibn Miskawaih memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia
agar sebagai filosuf. Karena itu Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang
sejumlah ilmu yang dapat di pelajari agar menjadi seorang filosuf. Ilmu
tersebut ialah:
a) Matematika
b) Logika dan
c) Ilmu
kealaman
Jadi, jika dianalisa dengan secara
seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang diajarkan Ibn Miskawaih dalam
kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata-mata karena ilmu itu
sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok yaitu
akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia
dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan
semakin tinggi pula akhlaknya[24]
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosuf dan
Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009). Hal. 127.
[3] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003). Hal. 5.
[6]
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan
Studi Islam. (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005). Hal.
327-328.
[13] Munawwir dan Muhammad Fairuz, Kamus
Al-Munawwir versi Indonesia-Arab, cet.
I, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007). Hal. 366.